Menjaga Perkataan dan Tulisan
Oleh: Umar Syarifudin (Pengasuh Majlis Taklim Al-Ukhuwah)
Kepada para pengemban dakwah yang bersih
dan bertakwa, penulis mendoakan kebaikan untuk Anda dan semoga Allah
menerima berbagai ketaatan dan semoga Allah menjaga Anda sekalian dari
semua keburukan dan melindungi Anda sekalian dari semua kejahatan. Ada
harapan setelah penderitaan. Ada kabar gembira jalan keluar setelah
situasi menyedihkan. Ada kemudahan setelah kesusahan. Ada ketenteraman
yang dekat setelah derita panjang.
Sudah sepantasnya setiap muslim
memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisan dan tulisannya, karena bisa
jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan
dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan
murka Allah Ta’ala. Hendaknya selalu berhati-hati agar tidak terjerumus meyakini dan turut menyebarkan kabar bohong dan fitnah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada
tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian
bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya
serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah
kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila
wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah)
serta menyia-nyiakan harta”
Di antara tanda baiknya seorang muslim
adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Waktunya
diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya.
Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya.
Sebaik-baik perkara adalah membekali diri dengan ilmu. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang diketahuinya, maka dia telah diperbudak oleh pikiran (pandangan)-nya. Akhirnya, dia pun begitu mengagungkan dirinya, sehingga menghalanginya untuk belajar kepada orang lain. Padahal, dengan saling belajar, akan tampak kesalahan (dan kekurangan)-nya
Sebaik-baik perkara adalah membekali
diri dengan ilmu. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang
diketahuinya, maka dia telah diperbudak oleh pikiran (pandangan)-nya.
Akhirnya, dia pun begitu mengagungkan dirinya, sehingga menghalanginya
untuk belajar kepada orang lain. Padahal, dengan saling belajar, akan
tampak kesalahan (dan kekurangan)-nya. Ibn Jauzi, Shaid al-Khathir, hal
62.
Hasan al-Bashri berkata: “Kebanyakan
orang sama ketika mendapatkan nikmat, tetapi saat ujian (bala’)
ditimpakan, mereka berbeda (satu sama lain).” Ibn Jauzi berkomentar:
Akal adalah simpanan terbaik dan bekal untuk menghadapi perang melawan
bala’ [Ibn Jauzi. Shaid al-Khathir, 78]
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Siapa saja yang tidak mengalkulasi perkataan dari perbuatannya, maka banyak kesalahannya.” Sebagian ahli hikmah berkata: “Akal seseorang bersembunyi di bawah lisannya.” Sebagian ahli balaghah berkata: “Penjaralah
lisanmu, sebelum kamu dipenjara dalam waktu yang lama, atau jiwamu
binasa. Tidak ada sesuatu yang lebih utama dari memenjara dalam waktu
yang lama terhadap lisan yang sedikit benar, namun banyak bicara.”
Abu Tammam ath-Tha’iy berkata: Di antara
ahli hikmah mengatakan bahwa lisan seseorang termasuk bayangan hati.
Sehingga sebagian ahli hikmah mengurangi kesempatan berbicara, dan
berkata:
“Apabila Anda duduk bersama
orang-orang bodoh (dalam satu forum), maka diamlah. Dan apabila Anda
duduk bersama para ulama (dalam satu forum), maka diamlah. Sesungguhnya
diammu ketika bersama orang-orang bodoh, maka itu akan menambah
kesabaran. Sementara diammu ketika bersama para ulama, maka itu akan
menambah pengetahuan (ilmu). Dari Kitab Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn, karya Imam al-Mawardia dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata
mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut
menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk
neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka.
Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung
kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di
sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang
berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang
mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu,
sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang
merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan
dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada
umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada
terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
Hendaklah seseorang berpikir dulu
sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke
neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada
seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak
dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke
neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan
barat.” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi
rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini
mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu
menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda.
‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR.
Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang
yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya
merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya,
maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan
lisannya.” Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak
apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan
sepele.
Sumber: voa-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar